Sabtu, 16 Oktober 2010

Arah Gerakan Mahasiswa Islam

Arah Gerakan Mahasiswa Islam
________________________________________
Di Era Represi
Satu penelitian pernah dilakukan oleh Dekmeijian
terhadap fenomena maraknya gerakan Islam di berbagai kampus di Turki, sekitar era 80'an. Dalam
penelitiannya, Dekmeijian menemukan bahwa terdapat
hubungan yang erat antara dinamika aktivisme Islam
dengan situasi politik yang berkembang pada saat itu.
Dalam situasi dimana penguasa menerapkan kebijakan
politik yang represif, menurut Dekmeijian, biasanya
gerakan Islam lebih bisa eksis dan malahan makin
memperlihatkan pertumbuhan yang luar biasa ketimbang gerakan-gerakan ideologis lainnya.
Pada kasus Turki, sebelum militer melakukan kudeta, di
era 70'an, aktivisme kampus-kampus pada umumnya di
dominasi oleh kelompok kiri. Pada masa itu
simbol-simbol aktivisme kiri demikian menonjol.
Kumis yang dibiarkan memanjang, tanpa jenggot, dan
penampilan yang lusuh merupakan trade mark aktivis
kampus. Namun demikian, ketika represi politik menjadi
lebih kuat memasuki tahun 80'an, secara pelan-pelan
simbol-simbol ini berubah dan digantikan oleh
simbol-simbol baru yang dibawa oleh aktivis-aktivis
Islam. Jilbab, jenggot dan sebagainya dengan cepat
menjadi fenomena yang mendominasi berbagai kampus di Turki.
Mengapa hal yang demikian itu terjadi? Banyak jawaban
yang bisa diberikan. Di antaranya yang relevan adalah
bahwa fenomena maraknya aktivisme Islam pada era
represi politik seperti itu sesungguhnya menunjukkan
kemampuan bertahan dan adaptasi wacana politik Islam dalam beragam situasi yang berkembang. Islam
menyediakan ruang yang relatif aman bagi banyak orang untuk mengartikulasikan ide-ide politiknya, yang
paling oposan sekalipun. Dan memberinya kesempatan
untuk memperluas gagasan tersebut menjadi satu
formulasi sikap dan tindakan, yang dapat kita sebut
sebagai gerakan, di bawah perlindungan citra
religius yang kuat. Itu yang pertama.
Kedua, biasanya bersamaan dengan menguatnya represi politik, terlihat pula usaha-usaha untuk
mengobjektifkan ajaran-ajaran Islam ke dalam bentuk
kehidupan praktis masyarakat juga kian marak. Pada
saat seperti itu, biasanya penerbitan-penerbitan
Islam, setelah melalui sensor yang ketat, dibiarkan
tumbuh secara terbatas sebagai bentuk akomodasi yang mungkin bagi penguasa di negeri-negeri Islam untuk memperlihatkan toleransinya terhadap pelaksanaan kehidupan keagamaan yang dianut oleh mayoritas rakyatnya. Namun begitu, sekalipun dibatasi, tumbuhnya penerbitan Islam ini tetap menjadi suatu alternatif yang paling sehat dan aman bagi perluasan
aspirasi-aspirasi Islam, sekaligus juga relatif dapat
mengobjektivisikan gagasan-gagasan keIslaman dalam
bentuk-bentuk yang tidak kelihatan konfrontatif.
Kedua hal di atas tidak bisa dilakukan oleh
gerakan-gerakan ideologis lainnya, seperti
gerakan-gerakan kiri. Perlu pula diingat, sekalipun
begitu, dalam situasi politik yang serba represif,
hanya gerakan Islam yang membawa format moderat
sajalah yang paling mungkin untuk tumbuh dan marak
dikampus-kampus. Sebaliknya, gerakan-gerakan Islam
yang cenderung radikal, biasanya juga menemui nasib
mirip dengan gerakan-gerakan kiri.
Alasannya, pertama, karena gerakan-gerakan radikal itu
tidak memberi satu ruang yang aman bagi masyarakat
yang tengah dikungkung oleh teror represi penguasa.
Dan kedua, karenanya, gerakan-gerakan tersebut menjadi kelihatan tidak realistis dan jauh dari kenyataan
sehari-hari yang dihadapi oleh mayoritas masyarakat,
khususnya mahasiswa.
Untuk konteks Indonesia, apa yang diteliti oleh
Dekmeijian itu sedikit banyak memiliki
hubungan-hubungan yang layak kita pertimbangkan.
Betapapun juga, maraknya aktivisme Islam di berbagai
kampus-kampus sejak era 80'an dan kemudian menjadi
fenomena dominan di era 90'an, menunjukkan beberapa gejala yang mirip dengan apa yang dialami di Turki. Terlepas dari pelbagai teori mengenai sumbangsih politik akomodatif yang dilancarkan oleh Orde Baru terhadap ummat Islam, kita tetap saja dapat melihat bahwa sifat pertumbuhan tersebut sangatlah khas dan memiliki ciri-ciri independensi tertentu yang tidak cukup dijelaskan semata-mata dari sudut pandang
teori-teori akomodasi Orde Baru semacam itu. Kita
menemukan pada aktivisme Islam itu gejala oposan yang kuat terhadap Orde Baru, baik dari sudut wacana yang dikembangkannya, maupun dari sudut ide-ide dasar yang dianutnya, terutama sekali dalam menilai
hubungan-hubungan mereka dengan penguasa Orde Baru. Dan ini terbukti dari sikap yang ditampakkan oleh
mayoritas aktivis Islam yang tumbuh dikampus-kampus
disepanjang era tersebut. Yakni pada saat menjelang
akhir kekuasaan Orde Baru dan berlanjut hingga ke
masa-masa berikutnya, pada era Habibie dan Abdurrahman Wahid.
Di Era Liberalisasi
Kalau kita melihat sepanjang era represi Orde Baru
aktivisme Islam di kampus-kampus sedemikian marak,
maka di era dimana keterbukaan politik menjadi suatu
keniscayaan seperti yang tampak pada hari ini, kita
perlu pula mencermati sejauhmana sesungguhnya
kemampuan gerakan Islam untuk mempertahankan
dominasinya dalam aktivisme di kampus-kampus. Hal ini
penting, mengingat dari penelitian Dekmeijian
diperoleh kesimpulan bahwa pada keterbukaan politik
biasanya aktivisme Islam akan mengalami kemerosotan.
Dan kemerosotan ini biasanya pula diikuti oleh
bangkitnya aktivisme jenis lain, sebagai alternatif
bagi aktivisme Islam yang dominan itu, yang pada
umumnya merupakan varian-varian dari ide-ide gerakan
kiri.
Akhir-akhir ini terlihat maraknya kembali mahasiswa di
berbagai kampus yang menampakkan dan mempergunakan atribut-atribut dan simbol-simbol dari gerakan kiri.
Tidak hanya itu, kita pun melihat bangkitnya
antusiasme di kalangan mahasiswa untuk terlibat atau
melibatkan diri dalam wacana-wacana kiri. Berbagai
buku diterbitkan mengiringi bangkitnya antusiasme
tersebut. Satu kemarakan yang menyerupai kemarakan
yang sama dengan gairah aktivisme Islam di era 80 dan
90'an. Pada saat yang sama, nampak pula satu gejala
dimana aktivisme Islam seperti kehilangan daya
cengkramnya. Sekalipun barangkali masih dalam wujud
kekhawatiran-kekhawatiran, namun melihat kecenderungan yang berkembang di kalangan aktivis Islam yang terlihat tidak serius menanggapi persoalan ini, bukan tidak mungkin dalam beberapa waktu mendatang, bandul fenomena aktivisme mahasiswa akan bergerak ke kiri.
Mengapa demikian? Dalam hemat kami, era liberalisasi
politik ini sedikit banyak telah pula menyedot
perhatian mayoritas aktivis Islam untuk segera
terlibat di dalamnya. Dan ini yang paling klasik.
Biasanya, keterlibatan seperti ini mengandung
implikasi sosial berupa biaya yang mesti ditanggung
oleh Gerakan Islam dalam bentuk tersedotnya banyak
tenaga dan pemikiran untuk mengiringi keterlibatan
tersebut. Selain itu, pada saat yang sama, seringkali
pula kita lupa. Yakni sekalipun aktivisme Islam di
kampus-kampus tersebut berangkat dari suatu kesadaran yang memiliki bentuk dan arah yang jelas (manifest), akan tetapi kerangka kerja dari bentuk kesadaran tersebut masihlah berbentuk bahan baku yang mesti diolah lebih jauh lagi menjadi produk-produk jadi yang siap dikonsumsi. Dan di sinilah problem klasik gerakan Islam muncul, yaitu memformulasikan gagasan-gagasan politiknya menjadi serangkaian program dan tindakan-tindakan nyata, yang dapat diukur secara terbuka oleh masyarakat luas untuk diberi nilai, apakah gagasan tersebut realistis bagi mereka atau tidak.
Masalahnya, kebiasaan-kebiasaan yang berkembang selama era represi militer dimana ide-ide pada umumnya
dikembangkan dalam bentuk formulasi normatif, demi
menjaga ruang aman gerakan dari intimidasi penguasa,
berdampak pula hingga pada era liberalisasi. Salah
satu kebiasaan tersebut adalah penawaran
gagasan-gagasan dalam bentuk slogan dan jargon yang seringkali pula tidak realistis. Misalnya, yang paling
sering ditemukan adalah jargon semisal Hukum Islam
Tegak Maksiat Hilang. Dari sudut pandang syar'i saja
jargon ini sudah bermasalah. Sebab sesungguhnya tujuan penerapan hukum Islam bukanlah melawan sunnatullah, yaitu hilangnya maksiat itu sendiri, tetapi tujuan sesungguhnya adalah membuat agar maksiat-maksiat tersebut tidak nampak secara terang-terangan di dalam masyarakat dan tidak menjadi fenomena yang umum.
Kemudian dari sudut strategis, jargon ini juga
bersifat millenerianistis, mengobral janji-janji dan
karena itu mudah mengundang kekecewaan. Hemat kami, alangkah baiknya jika gerakan Islam lebih konsentrasi pada peneloran ide-ide yang terkait langsung dengan kehidupan praktis masyarakat.
Karena hal-hal di atas, di era liberalisasi politik
seperti sekarang ini, gerakan mahasiswa Islam (GMI)
potensial untuk mengalami kebekuan manakala
konsentrasi dan formulasi ide-idenya tidak berhasil
dikukuhkan ulang. Perhatian yang sedemikian besar
terhadap gejolak-gejolak sosial dan politik
kontemporer yang mengiringi perubahan-perubahan besar dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia saat ini, selain merupakan kewajiban kesejarahan GMI, pada
sisi lain sesungguhnya pula mengandung ancaman-ancaman serius. Bentuk ancaman ini beragam, mulai dari kemungkinan mengecilnya basis konstituen hingga pada bentuk kegagalan dalam mengadvokasi
kepentingan-kepentingan ummat. Dalam hal mengadvokasi kepentingan ummat, lubang terbesar yang paling berpeluang menjerat GMI adalah keragu-raguan yang timbul dari ketiadaan rasa percaya diri terhadap usaha-usaha untuk mengangkat isu-isu ummat Islam, baik nasional maupun global, sebagai isu identitas yang dominan.
Kerangka Kerja Gerakan Mahasiswa Islam
Menghadapi perubahan-perubahan seperti di atas, GMI
tidak pelak lagi mesti merumuskan kerangka kerjanya
yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Ringkasnya,
kerangka kerja ini merupakan rangkaian agenda-agenda mendasar yang secara sistematis menunjukkan Gamis untuk beradabtasi secara tepat dengan kondisi dan situasi yang terus berubah.
Pada kesempatan ini, kami menganjurkan agar GMI mulai secara proaktif memandang keterlibatannya dalam setiap peristiwa sejarah sebagai satu kewajiban yang tidak terelakkan. Pertama, karena GMI hakikinya adalah manifestasi langsung dari cita-cita kebangkitan Islam yang memikul beban untuk menggerakkan kebangkitan itu mengikuti gerak waktu yang selalu kedepan. Kedua, bahwa GMI juga mewakili aspirasi paling mendasar yang dibawakan oleh cita-cita normatif Islam dalam mewujudkan masyarakat Islami yang menjamin terbentuknya formasi sosial yang mencerminkan cita-cita tersebut. Ketiga, terkait dengan isu-isu perubahan kontemporer, GMI juga memikul tanggung jawab sebagai garda depan (vanguard) dari usaha-usaha ummat Islam untuk mengarahkan bandul sejarah kearahm mereka, yang selama sekian lamanya berpihak pada kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan dengan Islam.
Dan untuk mewujudkan itu, usaha-usaha seperti
mengkonsolidasikan formasi gerakan kedalam
bentuk-bentuk yang lebih mengakar pada orisinalitas
gagasan-gagasan dan metodologi gerakan Islam yang
modern menjadi hal penting yang perlu dikedepankan.
Betapapun juga eksistensi GMI memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap orisinalitas
gagasan-gagasannya. Dalam hal ini, makin orisinil ia
berpijak pada Islam dalam pertumbuhannya, maka akan
makin mungkin baginya untuk tetap mempertahankan
eksistensinya. Kemudian, agar pada saat yang sama GMI tidak terjebak dalam bahaya kebekuan, ketidak
fleksibelan, ketidakrealistisan dan semacamnya,
orisinalisme tersebut haruslah diarahkan pada
bentuk-bentuk yang lebih dinamis. Artinya, GMI yang
paling mungkin diwujudkan adalah gerakan yang mampu menampakkan sikap-sikap moderasi, toleran terhadap perubahan, dan cepat beradabtasi dengan situasi. Kedua hal tersebut akan semakin mungkin manakala ditopang pula oleh konsistensi gerakan mahasiswa Islam dalam membina dan melahirkan kader-kadernya. Hanya dengan
konsistensi pembinaan kader maka gerakan tidak akan
kehilangan iron stock-nya, dan pada saat yang sama
akan lebih mudah baginya untuk mengantisipasi dampak pertumbuhan gerakan-gerakan yang tidak sejalan dengan Islam. Wallahu `alam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar