Jumat, 08 Oktober 2010

FILSAFAT EKSISTENSIALISME

FILSAFAT EKSISTENSIALISME

1. Lahirnya Eksistensialisme

Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena ketidakpuasan beberapa filosof terhadap filsafat pada masa Yunani hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan spekulatif tentang manusia. Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.

Eksistensialisme merupakan gerakan filosofis yang muncul di Jerman setelah perang dunia I dan berkembang di Perancis setelah perang dunia II. Bermula dari reaksi terhadap esensialisme Hegel, yang memandang bahwa konstruksi dipahami sebagai suatu lintasan dari sesuatu yang tidak eksis (No existence, not being) kepada ‘sesuatu yang eksis’. Kierkegaard menentang pandangan tersebut dengan menyatakan tentang kebenaran subjektif, yaitu suatu bentuk penegasan keunikan dan sesuatu yang konkrit dan nyata sebagai sesuatu yang berlawanan dengan yang abstrak. Konsep tersebut merupakan perlawanan terhadap usaha untuk mengkonstruksi gambaran tentang dunia dengan memakai konsep kecukupan intelek pada dirinya sendiri. Apa pun yang eksis menjadi sesuatu yang dihadapi secara yakin sebagai sesuatu yang lebih aktual dibanding dengan sesuatu yang dipikirkan.

Eksistensialisme muncul sebagai reaksi terhadap pandangan materialisme. Paham materialisme ini memandang bahwa pada akhirnya manusia itu adalah benda, layaknya batu atau kayu, meski tidak secara eksplisit. Materialisme menganggap hakekat manusia itu hanyalah sesuatu yang material, betul-betul materi. Materialisme menganggap bahwa dari segi keberadaannya manusia sama saja dengan benda-benda lainnya, sementara eksistensialisme yakin bahwa cara berada manusia dengan benda lain itu tidaklah sama. Manusia dan benda lainnya sama-sama berada di dunia, tapi manusia itu mengalami beradanya dia di dunia, dengan kata lain manusia menyadari dirinya ada di dunia. Eksistensialisme menempatkan manusia sebagai subjek, artinya sebagai yang menyadari, sedangkan benda-benda yang disadarinya adalah objek.

Eksistensialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Idealisme dan materialisme adalah dua pandangan filsafat tentang hakekat yang ekstrem. Materialisme menganggap manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subjek, dan hal ini dilebih-lebihkan pula oleh paham idealisme yang menganggap tidak ada benda lain selain pikiran. Idealisme memandang manusia hanya sebagai subjek, dan materialisme memandangnya sebagai objek. Maka muncullah eksistensialisme sebagai jalan keluar dari kedua paham tersebut, yang menempatkan manusia sebagai subjek sekaligus objek. Manusia sebagai tema sentral dalam pemikiran.

Munculnya eksistensialisme juga didorong oleh situasi dunia secara umum, terutama dunia Eropa barat. Pada waktu itu kondisi dunia pada umumnya tidak menentu akibat perang. Di mana-mana terjadi krisis nilai. Manusia menjadi orang yang gelisah, merasa eksistensinya terancam oleh ulahnya sendiri. Manusia melupakan individualitasnya. Dari sanalah para filosof berpikir dan mengharap adanya pegangan yang dapat mengeluarkan manusia dari krisis tersebut. Dari proses itulah lahir eksistensialisme.

Kierkegaard seorang pemikir Denmark yang merupakan filsuf Eksistensialisme yang terkenal abad 19 berpendapat bahwa manusia dapat menemukan arti hidup sesungguhnya jika ia menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak terbatas dan merenungkan hidupnya untuk melakukan hal tersebut, walaupun dirinya memiliki keterbatasan untuk melakukan itu. Jean-Paul Sartre filsuf lain dari Eksistensialisme berpendapat eksistensi mendahului esensi, manusia adalah mahkluk eksistensi, memahami dirinya dan bergumul di dalam dunia. Tidak ada natur manusia, karena itu tidak ada Tuhan yang memiliki tentang konsepsi itu. Jean-paul Sartre kemudian menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki suatu apapun, namun dia dapat membuat sesuatu bagi dirinya sendiri.

2. Tokoh-tokoh Eksistensialisme

a. Soren Aabye Kiekegaard

Sejak pertengahan abad 18 sebelum Perang Dunia I Soren Kierkegaard, seorang penulis berkebangsaan Denmark, telah mengerjakan tematema pokok eksistensialisme melalui berbagai penemuan dan interpretasi yang mendalam terhadap pemikiran Schelling dan Marx. Namun baru setelah berakhir Perang Dunia II eksistensialisme berkembang pesat terutama dalam sudut pandang filsafat manusia sebagai filsafat yang membicarakan eksistensi manusia sebagai tema utamanya.

Kierkegaard adalah seorang pemikir Denmark yang merupakan filsuf Eksistensialisme yang terkenal abad 19. Kierkegaard berpendapat bahwa manusia dapat menemukan arti hidup sesungguhnya jika ia menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak terbatas dan merenungkan hidupnya untuk melakukan hal tersebut, walaupun dirinya memiliki keterbatasan untuk melakukan itu. Karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial, tujuan filsafat Kierkegaard adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang individu?”. Kiergaard menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut, yakni manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan.

Inti pemikiran Kierkegaard adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.

b. Friedrich Nietzsche

Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman. Tujuan filsafatnya adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul?”. Jawabannya adalah manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.

Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (Ů€bermensch) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.

c. Karl Jaspers

Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri .Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.

d. Martin Heidegger

Martin Hiedegger merupakan pemikir yang ekstrim, hanya beberapa filsuf saja yang mengerti pemikiran Heidegger. Pemikiran Heidegger selalu tersusun secara sistematis. Tujuan dari pemikiran Heidegger pada dasarnya berusaha untuk menjawab pengertian dari “being”. Heidegger berpendapat bahwa “Das Wesen des Daseins liegt in seiner Existenz”, adanya keberadaan itu terletak pada eksistensinya. Di dalam realitas nyata being (sein) tidak sama sebagai “being” ada pada umumnya, sesuatu yang mempunyai ada dan di dalam ada, dan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ada sebagai pengada. Heidegger menyebut being sebagai eksistensi manusia, dan sejauh ini analisis tentang “being” biasa disebut sebagai eksistensi manusia (Dasein). Dasein adalah tersusun dari da dan sein. “Da” disana (there), “sein” berarti berada (to be/being). Artinya manusia sadar dengan tempatnya.

Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.

e. Jean Paul Sartre

Jean-Paul Sartre filsuf lain dari eksistensialisme berpendapat eksistensi mendahului esensi, manusia adalah mahkluk eksistensi, memahami dirinya dan bergumul di dalam dunia. Jean-paul Sartre kemudian menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki suatu apapun, namun dia dapat membuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Menurut Sartre adanya manusia itu bukanlah “etre” melainkan “a etre”. Artinya manusia itu tidak hanya ada tapi dia selamanya harus membangun adanya, adanya harus dibentuk dengan tidak henti-hentinya.

Satre berkeyakinan bahwa inti setiap relasi antarmanusia adalah konflik, saling menegasikan terus-menerus, karena seorang manusia menjadi subjek sekaligus juga objek bagi yang lain. Oleh karena itu, satu dengan yang lainnya berusaha untuk memasukkan orang lain ke dalam pusat ”dunia”-nya. Mengikuti Nietzsche, Sartre mengutuk setiap bentuk objektivikasi dan impersonalisasi. Tak ada standar baik dan
buruk kecuali kebebasan itu sendiri.
Sartre menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.

Sepanjang sejarah eksistensialisme, kebebasan ala Sartre ini boleh dibilang paling ekstrim dan radikal. Dalam sejarah perkembangan filsafat, agaknya tidak ada pendirian tentang kebebasan yang ekstrim dan radikal seperti Sartre.

3. Hakekat Eksistensialisme

Eksistensialisme berarti filsafat mengenai aku, dan bagaimana aku hidup. Dengan demikian, eksistensialisme adalah filsafat subyektif mengenai diri. Hal ini terlihat pada ide-ide dari tiga eksistensialis terbesar Eropa: Soren Kierkegaard (1813-1855), Martin Heidegger (1889-1976) dan Jean-Paul Sartre (1905-1980).

Eksistensialisme Kierkegaard tercapai karena menemukan diri di hadapan Tuhan. Bagi Heidegger, filsuf Jerman dengan karya Being & Time yang sangat berpengaruh, diri terkait dengan ‘pengada otentik’, atau kecerdasan identitas.

Sementara bagi Sartre, diri serupa dengan konsep Descartes, tetapi dengan meniadakan Tuhan. Diri bagi Sartre adalah pengakuan atas Tuhan. Karena, dalam menciptakan manusia yang kita inginkan, tak ada satupun dari tindakan-tindakan kita yang tidak sekaligus menciptakan gambaran tentang manusia sebagaimana ia seharusnya.

Dalil diataslah, menurut Sartre lagi, yang menggambarkan diri kita sebagai ‘Tuhan kecil’ yang berada atau menyatu dalam diri kita, sekaligus yang ‘memiliki kebebasan kita’ seperti sebuah kebajikan metafisik (Being & Nothingness, 1943:42).

Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata “eks” yang berarti diluar dan “sistensi” yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkrit.

Eksistensialisme didefinisikan sebagai usaha untuk memfilsafatkan sesuatu dari sudut pandang pelakunya, di bandingkan cara tradisonal, yaitu dari sudut penelitinya. Eksistensialisme memberi perhatian terhadap masalah-masalah kehidupan manusia modern. Eksistensialisme menekankan tema eksistensi pribadi yang dibandingkan dengan eksistensi manusia secara umum, kemustahilan hidup dan pertanyaan untuk arti dan jaminan kebebasan manusia, pilihan dan kehendak, pribadi yang terisolasi, kegelisahan, rasa takut yang berlebihan dan kematian.

Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu makhluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkrit.
Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu, selalu melihat cara manusia berada, eksistensi diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, manusia dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkrit.

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar.

Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.

Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis,
ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain.

Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang lain daripada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orangtua, atau keinginan sendiri.

Waini Rasyidin (2007:24) mengungkapkan bahwa teori eksistensialisme menomorsatukan hak kebebasan individu menjadi diri sendiri yang bersifat terbuka terhadap segala kemungkinan yang selalu baru. Jika dibandingkan dengan penerapannya dalam filsafat pendidikan, eksistensialisme tampak lebih berpengaruh sebagai sistem filsafat, kecuali di Inggris dan dalam bidang pendidikan profesional tertentu di universitas-universitas di Eropa Barat dan Amerika Utara. Inti aliran eksistensialisme adalah filsafat hidup yang lebih menghormati hak hidup manusia sebagai individu. Atas dasar asas individualisme, eksistensialisme berpendapat bahwa tidak ada unsur hakiki di alam semesta yang bersifat universal.

Hakekat kenyataan tergantung pada persepsi individu yang bersangkutan. Parkay (1998) membagi dua aliran pemikiran eksistensialisme, yakni bersifat theistik (bertuhan) dan atheistik. Aliran theistik menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu kerinduan akan suatu wujud yang sempurna, yakni Tuhan. Kerinduan ini tidak membuktikan keberadaan Tuhan, manusia dapat bebas memilih untuk tinggal dalam kehidupan mereka seakan-akan ada Tuhan. Sementara aliran atheistik berpendapat bahwa pendirian theistik merendahkan kondisi manusia. Ateistik berpendapat bahwa manusia harus memiliki suatu fantasi agar dapat tinggal dalam kehidupan tanggung jawab moral. Pendirian tersebut membebaskan manusia dari tanggung jawab untuk berhubungan dengan kebebasan pilihan sempurna yang dimiliki.

Menurut eksistensialisme, terdapat dua jenis filsafat tradisional, yakni filsafat spekulatif dan skeptis. Filsafat spekulatif menjelaskan tentang hal-hal yang fundamental tentang pengalaman, dengan berpangkal pada realitas yang lebih dalam yang secara inheren telah ada dalam diri individu. Dengan kata lain pengalaman tidak banyak berpengaruh pada diri individu. Filsafat skeptik berpandangan bahwa semua pengalaman manusia adalah palsu, tidak ada sesuatu pun yang dapat kita kenal dari realitas. Mereka menganggap bahwa konsep metafisika adalah sementara.

Eksistensialisme menolak kedua pandangan tersebut dengan berpendapat bahwa manusia dapat menemukan kebenaran yang fundamental berargumentasi, bahwa yang nyata adalah yang kita alami. Realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas, kita harus menggambarkan apa yang ada dalam diri kita, bukan yang ada di luar kondisi manusia.

Paham eksistensialisme terdiri dari berbagai pandangan yang berbedabeda. Meski berbeda pandangan-pandangan tersebut memiliki beberapa persamaan, sehingga pandangan tersebut dapat digolongkan filsafat eksistensialisme. Persamaan-persamaan tersebut di antaranya:

a) Motif pokok eksistensialisme adalah apa yang disebut “eksistensi”, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Dengan kata lain bersifat humanis.
b) Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan.
c) Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih dalam proses menjadi. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih lagi terhadap sesama manusia.
d) Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkrit, pengalaman yang eksistensial.

Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakkan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut tersebut menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tergantung pemahamannya tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas. Pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karis siswa, melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri.

Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan berupa suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang tersulit. Berbuat akan menghasilkan akibat, dan seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak akan pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan akan pilihan-pilihan selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar