Jumat, 08 Oktober 2010

Sedikit Ga Sepakat Atas Humanisme Eksistensialis

Sedikit Ga Sepakat Atas Humanisme Eksistensialis


Islam sebagai agama fitrah beranggapan bahwa ketergantungan manusia terhadap Tuhan pada hakikatnya ketergantungan manusia pada puncak kesempurnaan. Justru ketergantunganya pada Tuhanlah yang menyebabkan ia menemukan hakikat dan jati dirinya, bukan malah lalai pada dirinya sebagaimana anggapan kaum eksistensialis.

Humanisme eksistensialis berpendapat bahwa manusia sebelum eksis di alam realita maka ia belum memiliki quiditas (mahiah) sehingga tidak mungkin untuk didefinisikan. Akan tetapi setelah ia eksis di alam nyata, maka dengan kebebasan memilih (ihktiar) yang ia miliki ia mampu untuk menentukan quiditas dirinya sehingga dari situ ia bisa dikenali.

Adapun hal-hal lain selain manusia, walaupun mereka belum eksis di alam realita, akan tetapi dikarenakan mereka telah memiliki quiditas sebelumnya maka sebelum keberadaannya pun kita mampu untuk medefinisikannya. Namun disini ada perpedaan pendapat antara kaum eksistensialis yang berlatar agamis dengan mereka yang berlatar belakang atheis. Para eksistensialis agamis beranggapan bahwa segala fenomena yang ada memiliki eksistensi, akan tetapi hal tersebut ada pada Tuhan. Sedang mereka yang berpihak atheis meyakini bahwa hal tersebut ada pada hukum determinasi alam.

Oleh karena itu John Paul Sartre berkata “Sebelum terwujud sesuatu yang disebut manusia, maka tidak ada yang disebut sebagai peran pada manusia tersebut”. Dengan kata lain ia ingin mengetakan bahwa “Manusia adalah sesuatu yang dihasilkan dari kebebasan memilih (free will)”. Jadi pandangan kaum humanisme eksistensialis tentang manusia ialah manusia pada awalnya belum memiliki quiditas (mahiah), sedang quiditas yang ada muncul atas dasar kehendak dan kebebasan memilih yang dimilikinya, hal ini yang membedakan manusia dengan segalam fenomena yang ada di alam semesta ini.

Kekhususan yang kedua adalah liberitas manusia. Humanisme eksistensialis berpendapat bahwa kesempurnaan manusia terletak pada ikhtiar (choice) dan liberalitas yang ada pada dirinya. Dari sini akhirnya mereka beranggapan bahwa “Semakin luas wilayah kebebasan pada diri manusia maka semakin sempurnalah ia”. Kemudian muncul pemikiran bahwa dikarenakan meyakini keberadaan Tuhan memiliki kensekuensi-konsekuensi seperti; menerima syariat-syariat Nya, penghambaan, begitu juga halnya dengan doktrin-doktrin agama seperti; keberadaan fitrah ataupun keyakinan tentang penentuan quiditas manusia sebelum keberadaannya dan kenabian, semua itu bertentangan dengan konsep liberalitas manusia. Oleh karenanya kaum humanis khususnya yang berpikiran eksistensialis, mereka sangat menentang semua itu karena mereka menganggap bahwa itu semua ibarat tembok pembatas kebebasan manusia.

Yang lebih ekstrim lagi, para eksistensialis, masih merujuk pada karya Jhon Paul Sartre, meyakini bahwa karena hanya manusia yang memiliki kebebasan dari semua fenomena alam yang ada, oleh karenanya tidak ada yang berhak membatasi keabsolutan kebebasan yang dimilikinya. Walaupun hal tersebut bernama “hukum kausalitas”. Karena hanya dengan kebebasan manusia, maka ia sendiri yang akan menentukan quiditas eksistensinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar