Jumat, 08 Oktober 2010

Tiga Teori Etika Lingkungan: Egosentris, Homosentris, dan Ekosentris

Tiga Teori Etika Lingkungan: Egosentris, Homosentris, dan Ekosentris

Teori etika lingkungan hidup ini diharapkan mampu menimbulkan pemahaman baru terhadap masalah lingkungan hidup yang tidak terpisah dari kosmologi tertentu yang dalam kenyataannya tidak menumbuhkan sikap eksploitatif terhadap alam lingkungan. Pengembangan etika lingkungan hidup diperlukan utuk mengendalikan adanya perubahan secara mendasar dari pandangan kosmologi yang menumbuhkan sikap hormat dan bersahabat dengan alam lingkungan (J. Sudriyanto, 1992:13).


Krisis ekologi dewasa ini telah meluas dan sangat berpengaruh pada pandangan kosmologi yang menimbulkan eksploitasi terhadap lingkungan. Relevansi pemikiran untuk memberikan landasan filosofis yang lebih mahal dan cocok semakin diperlukan. Semuanya ini terfokus pada manusia, sebagai peletak dasar dari semua permasalahan ini, serta mencari kedudukannya dalam seluruh keserasian alam yang menjadi lingkungan hidupnya. Maka, suatu etika yang mampu memberi penjelasan dan pertanggungjawaban rasional tentang nilai-nilai, asas dan norma-norma moral bagi perilaku manusia terhadap alam lingkungan ini akan sulit didapatkan tanpa melibatkan manusia.

Masalah ekologi tidak cukup dihadapi dengan mengembangkan etika lingkungan hidup. Kalau sudah menyangkut kesejahteraan masyarakat, pemikiran etis saja tidak akan berdaya tanpa didukung oleh aturan-aturan hukum yang dapat menjamin pelaksanaan dan menindak pelanggarnya. Untuk itu perlu diketahui berbagai teori yang membangun pemikiran tentang etika lingkungan hidup (J. Sudriyanto, 1992:13).

1. Etika Egosentris

Etika yang mendasarkan diri pada berbagai kepentingan individu (self). Egosentris didasarkan pada keharusan individu untuk memfokuskan diri dengan tindakan apa yang dirasa baik untuk dirinya. Egosentris mengklaim bahwa yang baik bagi individu adalah baik untuk masyarakat. Orientasi etika egosentris bukannya mendasarkan diri pada narsisisme, tetapi lebih didasarkan pada filsafat yang menitikberatkan pada individu atau kelompok privat yang berdiri sendiri secara terpisah seperti “atom sosial” (J. Sudriyanto, 1992:4)

Inti dari pandangan egosentris ini, Sonny Keraf (1990:31) menjelaskan:

Bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan diri sendiri. Dengan demikian, etika egosentris mendasarkan diri pada tindakan manusia sebagai pelaku rasional untuk memperlakukan alam menurut insting “netral”. Hal ini didasarkan pada berbagai pandangan “mekanisme” terhadap asumsi yang berkaitan dengan teori sosial liberal.

Pengetahuan mekanistik didasarkan pada asumsi bahwa segala sesuatu merupakan bagian yang berdiri sendiri secara terpisah. Atom-atom merupakan komponen riil dari alam. Begitu juga manusia yang merupakan komponen riil dari masyarakat.

Keseluruhan adalah penjumlahan dari bagian-bagian. Hukum identitas logika (A=A) mendasari penggambaran alam secara matematis. Demikian pula masyarakat, yang tidak lain merupakan penjumlahan dari banyak pelaku rasional individu. Mekanisme mempunyai asumsi bahwa banyak sebab eksternal berlaku dalam berbagai bagian internal. Serupa dengan masyarakat, hukum dan berbagai aturan yang dipaksakan oleh penguasa akan ditaati oleh rakyat secara positif.
Perubahan dapat terjadi dengan cara menyusun kembali bagian-bagiannya. Bangunan tuntutan masyarakat ditentukan oleh bagian-bagiannya.

Ilmu mekanis selalu dualistik, seperti, pengetahuan mekanis menempatkan bagian individu sebagai komponen utama dalam pembangunan timbul korporat. Etika egosentris menempatkan manusia sebagai individu paling utama dalam pembangunan lingkungan sosial (J. Sudriyanto, 1992:15).

2. Etika Homosentris

Etika homosentris mendasarkan diri pada kepentingan sebagian masyarakat. Etika ini mendasarkan diri pada berbagai model kepentingan sosial dan pendekatan antara pelaku lingkungan yang melindungi sebagian besar masyarakat manusia.

Etika homosentris sama dengan etika utilitarianisme, jadi, jika etika egosentris mendasarkan penilaian baik dan buruk suatu tindakan itu pada tujuan dan akibat tindakan itu bagi individu, maka etika utilitarianisme ini menilai baik buruknya suatu tindakan itu berdasarkan pada tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Etika homosentris atau utilitarianisme ini sama dengan universalisme etis. Disebut universalisme karena menekankan akibat baik yang berguna bagi sebanyak mungkin orang dan etis karena ia menekankan akibat yang baik. Disebut utilitarianisme karena ia menilai baik atau buruk suatu tindakan berdasarkan kegunaan atau manfaat dari tindakan tersebut (Sonny Keraf, 1990:34).

Seperti halnya etika egosentris, etika homosentris konsisten dengan asumsi pengetahuan mekanik. Baik alam mau pun masyarakat digambarkan dalam pengertian organis mekanis. Dalam masyarakat modern, setiap bagian yang dihubungkan secara organis dengan bagian lain. Yang berpengaruh pada bagian ini akan berpengaruh pada bagian lainnya. Begitu pula sebaliknya, namun karena sifat uji yang utilitaris, etika utilitarianisme ini mengarah pada pengurasan berbagai sumber alam dengan dalih demi kepentingan dan kebaikan masyarakat (J. Sudriyanto, 1990:16).

3. Etika Ekosentris

Etika ekosentris mendasarkan diri pada kosmos. Menurut etika ekosentris ini, lingkungan secara keseluruhan dinilai pada dirinya sendiri. Etika ini menurut aliran etis ekologi tingkat tinggi yakni deep ecology, adalah yang paling mungkin sebagai alternatif untuk memecahkan dilema etis ekologis. Menurut ekosentrisme, hal yang paling penting adalah tetap bertahannya semua yang hidup dan yang tidak hidup sebagai komponen ekosistem yang sehat, seperti halnya manusia, semua benda kosmis memiliki tanggung jawab moralnya sendiri (J. Sudriyanto, 1992:243)

Menurut etika ini, bumi memperluas berbagai ikatan komunitas yang mencakup “tanah, air, tumbuhan dan binatang atau secara kolektif, bumi”. Bumi mengubah perah “homo sapiens” dari makhluk komunitas bumi, menjadi bagian susunan warga dirinya. terdapat rasa hormat terhadap anggota yang lain dan juga terhadap komunitas alam itu sendiri (J. Sudriyanto, 1992:2-13). Etika ekosentris bersifat holistik, lebih bersifat mekanis atau metafisik. Terdapat lima asumsi dasar yang secara implisit ada dalam perspektif holistik ini, J. Sudriyanto (1992:20) menjelaskan:

Segala sesuati itu saling berhubungan. Keseluruhan merupakan bagian, sebaliknya perubahan yang terjadi adalah pada bagian yang akan mengubah bagian yang lain dan keseluruhan. Tidak ada bagian dalam ekosistem yang dapat diubah tanpa mengubah dinamika perputarannya. Jika terdapat banyak perubahan yang terjadi maka akan terjadi kehancuran ekosistem.

Keseluruhan lebih daripada penjumlahan banyak bagian. Hal ini tidak dapat disamakan dengan konsep individu yang mempunyai emosi bahwa keseluruhan sama dengan penjumlahan dari banyak bagian. Sistem ekologi mengalami proses sinergis, merupakan kombinasi bagian yang terpisah dan akan menghasilkan akibat yang lebih besar daripada penjumlahan efek-efek individual.

Makna tergantung pada konteksnya, sebagai lawan dari “independensi konteks” dari “mekanisme”. Setiap bagian mendapatkan artinya dalam konteks keseluruhan.

Merupakan proses untuk mengetahui berbagai bagian. Alam manusia dan alam non manusia adalah satu. Dalam holistik tidak terdapat dualisme. Manusia dan alam merupakan bagian dari sistem kosmologi organik yang sama.

Uraian di atas akan mengantarkan pada sebuah pendapat Arne Naess, seorang filsuf Norwegia bahwa kepedulian terhadap alam lingkungan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: Kepedulian lingkungan yang “dangkal” (shallow ecology) dan Kepedulian lingkungan yang “dalam” (deep ecology).

Kepedulian ekologis ini sering disebut altruisme platener holistik, yang beranggapan bahwa hal ini memiliki relevansi moral hakiki, bukan tipe-tipe pengadu (termasuk individu atau masyarakat), melainkan alam secara keseluruhan (J. Sudriyanto, 1992:22).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar